Mewujudkan Pilkada Aman di Tengah Pandemi Covid-19

Oleh: Tri Asmiyanto, SPdI, Ketua Bawaslu Gunungkidul & Warga Sumberjo

Nasib Pilkada 2020 telah ditentukan. Pemerintah, DPR, dan penyelenggara sepakat Pilkada dilanjutkan dan dilaksanakan meski wabah covid-19 belum berakhir.

Sebelumnya, KPU RI menerbitkan surat keputusan penundaan tahapan pemilihan kepala daerah 2020 melalui Keputusan bernomor 179/PL.02-Kpt/01/KPU/111/2020 pada tanggal 21 Maret 2020. Langkah tersebut diambil menyusul perkembangan penyebaran virus corona yang ditetapkan sebagai bencana nasional oleh pemerintah.

Dalam regulasi Pilkada, yakni UU nomor 10 tahun 2016, penundaan tahapan merujuk pada pasal 120 dan pasal 121. Dalam pasal 120 ayat 1 yang disebutkan, bahwa, “Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan pemilihan tidak dapat dilakukan pemilihan lanjutan,” dan dalam ayat 2 disebutkan, “Pelaksanaan pemilihan lanjutan dimulai dari tahap penyelenggaraan pemilihan yang terhenti.”

Tahapan yang ditunda oleh KPU setidaknya ada empat tahapan. Pertama, pelantikan PPS dan masa Kerja PPS. Kedua, verifikasi syarat dukungan calon kepala daerah perseorangan. Ketiga, pembentukan petugas pemutakhiran data pemilih. Dan, yang keempat, tahapan pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih.

Disepakati 9 Desember 2020
Dari rapat kerja Komisi II DPR RI  dengan Mendagri, KPU RI, Bawaslu RI dan DKPP RI pada 27 Mei 2020 dan setelah mendapat saran, usulan, dan dukungan Gugus Tugas Percepatan Covid-19 yang disampaikan melalui surat B-196/KAGUGUS/PD.01.02/05/2020, disepakati dan diputuskan pelaksanaan Pilkada 2020 akan dilakukan pada 9 Desember 2020. Keputusan inilah yang membuka pintu pelaksanaan Pilkada di tengah wabah covid-19.

Namun demikian, pelaksanaan Pilkada 9 Desember  2020 tersebut merupakan keputusan hukum sebagaimana telah tertuang pada Perppu Nomor 2 tahun 2020 dalam diktum pasal 201A ayat (2) yang menyebutkan bahwa, “Pemungutan suara secara serentak yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada Desember 2020.”

Pro dan kontra
Pro dan kontra mensikapi keputusan tersebut pun terjadi di tengah masyarakat. Kelompok masyarakat yang menolak mempertimbangkan unsur keselamatan penyelenggara dan warga masyarakat. Ini misalnya diungkapkan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, yang menyampaikan alasan penolakan dengan melakukan flashback catatan luka dalam penyelenggaraan Pemilu 2019, data KPU menyebutkan sebanyak 894 meninggal dunia dan sebanyak 5.175 petugas mengalami sakit. Menurutnya, aspek kesehatan jelas menjadi ancaman jika pilkada serentak tetap digelar ditengah pandemik. Hak warga negara untuk hidup sehat dan dilindungi dari ancaman kematian lebih penting dari pada hak politik.

Sementara itu, anggota Komisi II DPR RI menyatakan bahwa Pilkada serentak akan tetap dilaksanakan pada 2020 karena merupakan bagian penting dalam proses politik demokrasi yang harus dijaga ritmenya untuk mencari sosok pemimpin daerah yang berkualitas membangun daerahnya.

Sedangkan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri, Akmal Malik, mengungkap salah satu alasan pemerintah tidak menunda pilkada hingga tahun 2021 adalah tidak ingin pemerintahan daerah terlalu lama diisi oleh pelaksana tugas (Plt) yang menggantikan kepala daerah yang habis masa tugasnya.

Mengutip pernyataan senior program manager International Institut for Demokrasi and Electoral Assitance (IDEA), Adhy Aman, pelaksaan pilkada ditengah covid-19 bukan hal yang mustahil untuk dilaksanakan, namun lebih berat, lebih rumit, lebih sulit dan lebih mahal, berkaca dari Korea Selatan yang tetap bisa dan berhasil menyelenggarakan pemilu walaupun dalam kondisi pandemik.

Menurutnya, penyelenggaraan menjadi berat karena penyelenggara dan unsur terkait lainnya dalam pemilu harus berusaha keras melaksanakan teknis kepemiluan yang mampu menjamin keamanan masyarakat khususnya rasa aman dari covid-19. Dikawatirkan, hal tersebut akan menjadikan pelaksanaan menjadi semakin sulit dan terjadi pembengkakan anggaran karena harus menganggarkan biaya untuk penyediaan alat kesehatan dan kebutuhan teknis yang mengikuti prosedur keamanan dari covid-29.

Selain itu, ada syarat lain agar pilkada dapat berlangsung, yakni diperlukan kerangka pemilu yang mantap, dibutuhkan sarana dan prasarana yang cukup dan penyelenggara yang memiliki cukup waktu untuk menyelesaikan setiap tahapan.

Yang tidak kalah pentingnya adalah harus ada alam politik yang kondusif untuk mendukung pemilihan kepala daerah di Indonesia terselenggara dengan baik.

Tambahan Anggaran
Untuk menjawab prasyarat tersebut, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR RI telah disetujui usulan kebutuhan tambahan anggaran untuk KPU sebesar 4,7 trilyun, untuk Bawaslu sebesar Rp. 478,9 Milyar dan untuk DKPP sebesar Rp. 39 milyar. Untuk realisasi pemenuhan kebutuhan tambahan tersebut, Menkeu RI berkomitmen merealisasikan anggaran tahap pertama sebesar Rp 1 trilyun kepada KPU dan Bawaslu pada bulan Juni 2020.

Sementara untuk kerangka Pilkada yang mantap dan ketercukupan waktu dalam penyelesaian setiap tahapan, KPU dan Bawaslu telah mengaktifkan atau memanggil kembali jajaran penyelenggara ad hoc (Panwaslu Kecamatan, Panwaslu Desa, PPK dan pelantikan PPS). Selain itu, KPU juga segera menyusun desain pelaksanaan Pilkada dimasa covid-19 yang selanjutnya diikuti Bawaslu dengan menyusun peraturan pengawasan tahapan di masa covid.

Diterbitkannya PKPU nomor 5 tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020 menjadi acuan resmi dimulainya waktu pelaksanaan tahapan Pilkada 9 Desember 2020.

Namun demikian, kesepakatan penambahan anggaran oleh pemerintah dan persiapan penyelenggara pemilu  yang sudah bergerak cepat untuk menggelar perhelatan demokrasi pemilihan kepala daerah yang berkualitas belumlah cukup. Masih perlu dukungan dari peserta Pilkada dan sikap kooperatif warga masyarakat sebagai pemilik kedaulatan dalam pemilu dalam menjaga alam politik yang kondusif. Komitmen warga masyarakat untuk mentaati prosedur kesehatan dan peserta Pilkada dalam mentaati tatacara, prosedur, dan mekanisme Pilkada menjadi pilar penting dalam mensukseskan Pilkada 9 Desember 2020.

Protokol di Tengah Covid-19
Peserta pemilu dapat memaklumi dan bekerjasama dengan KPU dalam menciptakan iklim kondusif. Segala aturan yang diterapkan KPU, meskipun agak menyulitkan karena ada hal-hal baru yang diterapkan, seyogianya dapat diterima sebagai bentuk konsekuensi dari adanya wabah covid-19.

Secara lebih teknis, Pilkada 2020 akan berjalan aman di tengah wabah corona dan hak warga negara akan kesehatan terjaga serta terhindar dari ancaman kematian akibat covid-19 setidaknya ada beberapa yang harus dilakukan, antara lain sbb:

Pertama, adanya pemahaman bersama bahwa prasayarat utama pelaksanaan Pilkada 9 Desember 2020  ini adalah protokol kesehatan pencegahan penyebaran covid-19, tanpa itu Pilkada tidak akan dilanjutkan 9 Desember 2020. Maka dari itu, kesadaran semua pihak, khususnya dari peserta Pilkada dalam pengumpulan tim pemenangan, pengumpulan massa pendukung, serta pemilihan metode kampanye untuk tetap berpedoman pada protokol pencegahan covid-19. Begitu juga dengan warga masyarakat pemilih, mereka harus tetap mentaati protokol kesehatan masa covid-19, karena sebagaimana kita maklumi tambahan pasien sampai saat ini terus bertambah, bahkan grafik penyebarannya belum cenderung bergerak turun.

Kedua, penyelenggaraan Pilkada harus berkepastian hukum. Artinya setiap produk kebijakan yang dilakukan penyelenggara Pilkada (KPU dan Bawaslu) terkomunikasikan dan diterima dengan baik oleh peserta Pilkada dan pihak-pihak terkait. Komunikasi intensif menjadi kunci dan antisipasi dini dalam menghindari mispersepsi atau tafsir berbeda terkait regulasi kepemiluan yang ada

Ketiga, jajaran penyelenggara Pilkada dapat menjadi teladan dalam penerapan prosedur kesehatan/protokol pencegahan covid-19 dan dapat mencerminkan perilaku yang dapat menumbuhkan rasa aman bagi warga masyarakat dalam berpartisipasi disetiap tahapan Pilkada.

Keempat, ketepatan waktu akan fasilitasi alat pelindung diri (APD) untuk penyelenggara Pilkada yang pengadaannya dilakukan pemerintah daerah akan mendukung kelancaran pelaksanaan dan penyelesaian setiap tahapan Pilkada.

Kelima, kebijakan KPU kabupaten/kota dalam penyediaan TPS agar lebih menyesuaikan situasi aksesbilitas bukan sebatas jumlah pemilih di tiap-tiap TPS dengan alasan efisensi anggaran. Demikian juga dengan desain TPS mobile. Hal ini untuk menjaga hak konstitusi warga negara dalam menyampaikan suaranya. Strategi TPS Mobile dengan SOP yang jelas dapat juga sebagai solusi kekhawatiran rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan karena enggan atau takut datang ke TPS dengan alasan terhindar dari penularan virus corona.

Keenam, semua pihak harus disiplin dalam menjalankan prosedur keamanan penyebaran covid-19, informasi tentang protokol covid-19 harus terdistribusi secara penuh dan berulang-ulang kepada warga masyarakat. Peran promotor kesehatan masyarakat dan Satgas Pencegahan Covid yang mengakar sampai tingkat RT sangat penting untuk bersama dengan jajaran penyelenggara pemilu dalam setiapa tahapan pemilihan, khususnya tahapan yang melibatkan warga masyarakat misal, verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, coklit oleh PPDP, kampanye tatap muka, serta pada saat pemilihan. Wallaahu’alam.(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dari Kami

PERKENALKAN! Roti Kukus Karya Bu RT

Pengajian Maulid Nabi, Ustaz Sholihin Ajak Jemaah Teladani Akhlak Rasul SAW